Sunday, March 28, 2010

MEMADUKAN SEKOLAH DAN PESANTREN SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN AKHLAK YANG MULIA

Dunia pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan, terutama yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat yang berakhlak mulia.
Tantangan-tantangan itu terdiri atas 4 cluster, yaitu sebagai berikut:
1. Globalisasi di bidang budaya, etika, dan moral yang didukung oleh kemajuan dibidang tekhnologi, transportasi, dan informasi, atau bisa disebut 3T (Telekomunikasi, Transportasi, dan Teknologi). Para peserta didik saat ini sudah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang terkontrol maupun yang tidak terkontrol yang bisa memmpengaruhi budaya, etika, dan moral peserta didik.
2. Krisis moral dan etika yang melanda kehidupan bangsa Indonesia dalam berbagai tataran administratif pusat maupun daerah dan dalam berbagai sector, baik Negara maupun swasta.
3. Eskalasi konflik yang berlatar belakang kepentingan politik, organisasi, kelompok, dan lain sebagainya. Yang disatu sisi merupakan dinamika social, akan tetapi disisi lain mengancam harmoni dan integrasi social.
4. Stigma keterpurukan bangsa yang berakibat pada kurangnya rasa percaya diri, yang disebabkan adanya krisis multidimensional yang ada di Negara kita, dan juga posisi mutu pendidikan dan SDM yang masih rendah, serta angka pengangguran yang masih tinggi.

Memahami Makna Sekolah Terpadu
Pesantren, dalam realitasnya telah menyelenggarakan sistem sekolah, akan tetapi didalamnya juga terdapat tradisi-tradisi pesantren yang telah berkembang lebih dahulu, sehingga berkesan bahwa fungsi pendidikan di pesantren merupakan upaya untuk menjaga, melestarikan tradisi-tradisi yang telah berlaku, sehingga di beberapa pesantren terkadang sulit menerima perubahan-perubahan atau budaya baru dari luar. Lain halnya dengan sekolah terpadu, yang sejak semula bersinkronisasi dengan kebijakan pendidikan nasional, sehingga terbiasa dengan perubahan dan inovasi-inovasi. Dengan masuknya pesantren kedalam sekolah, bukan hanya bertugas memelihara kebudayaan dan tradisi yang berlaku di pesantren, akan tetapi juga mengakomodasi peserta didik dan masyarakat akan perubahan-perubahan yang terjadi.
Misi Rasulullah S.A.W., adalah untuk menyempurnakan akhlak, yang sebenarnya juga mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Insan Cerdas Komprehensif yakni cerdas spiritual (kemampuan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam segala perbuatannya), cerdas emosional (kemampuan mengendalikan emosi) dan cerdas sosial (kemampuan berkomunikasi dengan orang lain), cerdas intelektual (kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk), cerdas kinestetis (menyangkut sehat secara medis, tahan cuaca), yang kesemuanya itu adalah termasuk manifestasi dari makarimal akhlak. Sedangkan cerdas kompetitif yang meliputi kepribadian yang unggul (akademik dan nonakademik), bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun jejaring, berorientasi global, pembelajaran sepanjang hayat, juga termasuk manifestasi dari makarimal akhlak. Nilai-nilai semacam itu harus dikembangkan secara berkesinambungan di sekolah terpadu untuk membangun akhlak mulia.
Fungsi pendidikan di antaranya adalah mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia, menyelematkan dan melindungi potensi-potensi fitrah manusia, dan menyeleraskan langkah perjalanan potensi tersebut dengan rambu-rambu fithrah munazzalah (fitrah yang diturunkan Allah sebagai acuan hidup, yaitu agama). Potensi musik yang dimiliki oleh seorang peserta didik, harus dikembangkan seoptimal mungkin, dan ketika ada pagelaran pentas seni musik, maka harus dilindungi, di benarkan, agar tetap berjalan pada jalan yang lurus dan sesuai dengan nilai-nilai akhlak yang mulia.

Profil Lulusan Sekolah Terpadu
Secara sederhana, profil sekolah terpadu dapat dijabarkan dalam do’a yang sering dikumandangkan oleh umat Islam, yaitu: Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan-pasangan dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. ( QS. Al Furqon, 74). Yang pada intinya, kita memohon kepada-Nya, agar anak-anak kita menjadi dzuriyyah qurrota a’yun yang pada saatnya nanti menjadi imam al muttaqin. Yang mana jika di tinjau dari segi pendidikannya, maka dzuriyyah qurrota a’yun masih merupakan pendidikan dasar dan menengah, sedangkan imam al muttaqin adalah tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Dzuriyyah qurrota a’yun adalah kader imam al muttaqin, dan untuk memahami profil imam al muttaqin, maka perlu mengkaji makna taqwa itu sendiri, yang mana taqwa itu sendiri terbagi menjadi 2, yaitu itba’ syari’atillah dan itba’ sunnatillah.
Profil orang yang itba’ syari’atilah adalah: 1) senantiasa membaca al-Qur’an dan Sunnah, memahami, dan menghayatinya 2) Memposisikan diri sebagai pelaku agar dapat menghayati al-Qur’an dan Sunnah tersebut, 3) Memiliki komitmen tinggi terhadap ajaran-ajaran agama islam, 4) berdedikasi tinggi untuk menegakkan nilai-nilai ke Islaman yang rahmatan lil alamin, sehingga bisa di ambil kesimpulan, bahwa profil orang yang itba’ syari’atillah adalah mantap aqidahnya, dalam spiritualnya, unggul moralnya, dan siap berdedikasi dalam menegakkan nilai-nilai ke Islaman yang rahmatan lil alamin.
Sedangkan profil orang yang itba’ sunnatillah, adalah 1) berusaha membaca dan memahami fenomena alam, social, dan lain-lainnya, 2) mempelajari IPA, IPS, Matematika, pendidikan jasmani, sering melakukan penelitian dan eksperimen agar dapat memahami sunnatullah, 3) membangun kepekaan intelektual dan informasi, 4) pengembangan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.
Untuk membangun dzurriyah qurrota a’yun dan imam al muttaqin, maka dibutuhkan azwaj qurrota a’yun (pasangan-pasangan yang harmonis), yang apabila di aplikasikan ke dalam dunia pendidikan, maka dimaknai sebagai bangunan sistem pendidikan yang terdiri dari komponen-komponen yang harmonis. Dan supaya hubungan harmonis itu selalu terjaga, maka dibutuhkan 1) saling mengerti 2) saling menerima, 3) saling percaya, 4) saling menghargai, 5) saling kasih sayang. Dan agar hubungan yang harmonis itu terwujud, maka ada beberapa hal yang perlu di pertimbangkan dalam pemilihan pasangan, rekrutmen dan pembinaan terhadap pasangan / mitra kerja dalam rangka membangun Sekolah Terpadu adalah : 1) Istitha’ atau kemauan dan kemampuan untuk berpasangan harmonis, 2) limaliha, menguasai bidang studi, berpengetahuan luas dan professional, 3)lijamaliha, profilnya yang menarik, 4) linasabiha asal-usul untuk menjadi guru sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya, 5) lidiniha, komitmen terhadap ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.

Pengembangan Sekolah Terpadu dalam Menetapkan Peradaban Global
Pada abad ke-21, dunia Islam menghadapi sejumlah tantangan yang cukup besar, seperti krisis lingkungan, tatanan global, sekularisasi kehidupan, krisis ilmu pengetahuan dan teknologi, penetrasi nilai-nilai non Islam, citra Islam, sikap terhadap peradaban lain, feminisme, hak asasi manusia, dan tantangan internal. Dan untuk mengatasi berbagai problem masyarakat, seperti kelaparan, penyakit, penindasan, polusi dan lain sebagainya adalah to return to God through religion.
Kapitalisme mempunyai 3 asumsi dasar, yaitu (1) kebebasan, (2) kepentingan diri (3) pasar bebas, yang mana ketiga-tiganya menimbulkan dampak yang dihadapi oleh dunia Islam seperti yang telah disebutkan diatas.
Kehidupan manusia itu bagaikan lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dan sampai di tempat tujuan, dan masing-masing juga mempunyai kepentingan yang tidak sama. Karena kepentingan yang tidak sama itulah, maka harus ada peraturan lalu lintas kehidupan, agar tidak terjadi tabrakan, dan yang mengatur lalu lintas kehidupan adalah Allah, bukan manusia, karena manusia memiliki keterbatasan pengetahuan dan memiliki sifat egoisme (mementingkan kepentingan sendiri). Peraturan-peraturan itu berupa nilai-nilai secara rinci, yang dapat di jangkau oleh penalaran manusia, sehingga peraturan itu di sebut sebagai agama.
Sekolah terpadu masih aktual dalam mengantisipasi peradaban global, hanya saja, actual dan tidaknya tergantung pada penanggung jawab, Pembina, dan pengelola sekolah tersebut dalam memahami, menjabarkan, mengaktualisasikan makna keterpaduan antara sekolah dan pesantren, yang tidak hanya bersifat simbolik, akan tetapi juga sampai pada dimensi substansialnya. Dan melalui pemahaman ini, diharapkan sekolah dapat meluluskan peserta didik yang menguasai ipteks, terampil, dan mampu terjun di masyarakat sesuai dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam.
Untuk mewujudkan idealisme di sekolah, tergantung kepada guru/pendidik, dan manajemen sekolah itu sendiri. Karakteristik seorang ustadz (guru professional) harus selalu tercermin dalam segala aktifitasnya, sebagai mudarris, murobby, mu’allim, mursyid, dan mu’addib.
Sebagai mu’allim guru harus menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskannya dalam kehidupan. Sebagai murabby guru harus bisa mendidik, menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi dan mampu memelihara kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi masyarakat. Sebagai mursyid guru akan mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, pusat anutan, tauladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Sebagai mudarris guru harus mempunyai kepekaan terhadap informasi dan intelektual serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, mencerdaskan siswanya, memberantas kebodohan. Sebagai mu’addib seorang guru harus mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas.
Disamping itu, kurikulum sekolah juga harus dikembangkan secara terpadu, dengan menjadikan nilai-nilai ajaran Islam sebagai sumber dan petunjuk bagi pelajaran-pelajaran umum. Yang mana dalam prakteknya nanti, memasukkan nilai-nilai Islam kedalam pelajaran IPS, IPA, dan lain sebagainya, sehingga kesan dikotomis tidak terjadi.

Pendekatan Tasawuf Sebagai Upaya Membangun Akhlak Mulia
Akhlak adalah permulaan tasawuf, dan tasawuf adalah tujuan akhir atau puncak dari akhlak. Para ulama bersepakat, bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakikat keluhuran nilai seseorang bukan terletak pada wujud fisiknya, melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Allah yang Maha Suci. Tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya ia bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula. Ada 3 tahap untuk meningkatkan kesucian tersebut, yaitu zikir atau ta’alluq (mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan fikiran kepada Allah), takhalluq (berakhlak Allah), dan tahaquq (kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai orang mukmin).
Pendekatan tasawwuf memiliki karakteristik tertentu yaitu, (1) menekankan pada aspek esoteris atau kedalaman spiritualitas batiniyah dari keberagaman agama Islam. (2) mementingkan qalb (hati) dan dzauq (3) langkah yang harus ditempuh, meliputi takhliah (mengosongkan diri terhadap kepentingan duniawi), tahliyah (berusaha memperbanyak amal sholeh), tajliyah (menemukan jawaban-jawaban bathiniyah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tasawwuf yang dimulai dengan akhlak perlu dipertegas maknanya, sebagaimana uraian terdahulu, bahwa akhlak bukan hanya bermakna sopan santun, akan tetapi memiliki pengertian yang luas dan mendalam. Untuk membangun nilai-nilai akhlak yang mulia, diperlukan proses pembelajaran yang dilaksanakan secara integrated antara sekolah dan pesantren, sehingga peserta didik di Sekolah Terpadu, bisa juga disebut dengan santri. Dan para pendidiknya diposisikan sebagai guru dan juga sekaligus Kyai / Ustadz atau Nyai / Ustadzah.
Strategi pembinaan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari, yang dapat dilakukan melalui hal-hal seperti:
a. Keteladanan atau kegiatan pemberian contoh yang dilakukan oleh pengawas, guru, kepala sekolah, dll.
b. Kegiatan Spontan, yang dilaksanakan secara spontan pada waktu itu juga, yang dilakukan oleh guru / pendidik ketika melihat peserta didiknya bertingkah yang kurang baik.
c. Teguran, menegur peserta didik yang berperilaku buruk
d. Pengkondisian Lingkungan, suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa dengan penyediaan sarana fisik.
e. Kegiatan Rutin, kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik secara rutin.
2. Pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan. Misalnya, guru Ekonomi, ketika menyusun RPP, maka guru memasukkan nilai-nilai akhlak kedalam RPP mata pelajaran ekonomi.
3. Pemilihan materi bahan ajar yang sesuai
4. Implementasi dalam kegiatan pembelajaran yang didukung oleh alat, media, atau sumber
5. Asesmen / evaluasi untuk mengetahui ketercapaian hasil pembelajaran ipteks (instructional effects) dan muatan nilai-nilai akhlak yang mulia sebagai accompanies effect dalam kegiatan pembelajaran.
Pengintegrasian nilai-nilai akhlak yang mulia dalam kegiatan yang diprogramkan disekolah juga dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan yang bertujuan untuk membangun sikap keberagaman peserta didik. Sebagai contoh, untuk melatih peserta didik berdisiplin, bisa di integrasikan melalui olahraga, upacara bendera, dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada diri peserta didik, bisa di integrasikan saat tugas piket kebersihan kelas, atau dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.
Untuk memperoleh informasi secara berkala dari peserta didik, maka dapat dilakukan penilaian, yang bertujuan untuk melihat tingkat ketercapaian nilai-nilai akhlak yang mulia, yang dirumuskan sebagai standar minimal yang telah dikembangkan dan ditanamkan disekolah serta dapat dihayati, di amalkan, di pertahankan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Memadukan sekolah dan pesantren, bukan berarti sekolah harus mengadopsi begitu saja terhadap tradisi-tradisi yang berkembang di pesantren, karena salah satu tugas sekolah adalah mengembangkan pola-pola budaya baru agar bisa membantu para peserta didik untuk mengakomodasi perubahan yang sedang dan yang sudah terjadi. Jika tasawuf lebih menekankan pada pembentukan moralitas individual yang saleh, maka sekolah juga perlu mengembangkan ke arah pembentukan kesalehan sosial dan kepekaan terhadap moralitas publik.
Model pengembangan interaksi pendidik dan peserta didik dalam penyiapan lulusan yang berakhlak mulia dalam arti luas tersebut, dapat di formulasikan sebagai berikut:
1. Memposisikan peserta didik sebagai santri. Sebagai santri, ia akan berusaha meneladani, mengikuti jejak sang guru, terutama dari segi etos belajarnya, etos mengajarnya, etos pengembangan ilmunya, dedikasinya, maupun etos amaliyah ibadah personal dan sosial dalam perilaku sehari-hari.
2. Memposisikan peserta didik sebagai thalib al ilmi di Sekolah Terpadu. Kehadiran peserta didik di Sekolah Terpadu adalah untuk mengajukan permohonan atau melamar keilmuan para gurunya atau seperangkat mata pelajaran, muatan lokal, dan kegiatan pengembangan diri dan keagamaan Islam. Seorang thalib di tuntut untuk membangun semangat belajar yang tingga, bukan hanya bertujuan untuk meraih ijazah, akan tetapi untuk mencapai derajat yang diharapkan.
Maka, kepada para gurupun di tuntut untuk mampi memberikan pelayanan yang professional terhadap thalib al ilmi. Pekerjaan yang professional tidak hanya bertujuan untuk mencari nafkah atau mata pencaharian, akan tetapi juga merupakan panggilan terhadap pernyataan janji yang diucapkan di muka umum untuk ikut berkhidmat guna merealisasi terwujudnya nilai mulia yang di amanatkan oleh Tuhan dalam masyarakat melalui usaha kerja keras, cerdas, kreatif, dan inovatif.
Agar suatu profesi dapat menghasilkan suatu produk yang baik, maka perlu dibarengi etos kerja yang mantap pula. Ada 3 ciri dasar yang selalu dapat dilihat pada setiap professional yang baik mengenai etos kerjanya, yaitu (1) keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pendidikan, (2) menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya professionalnya.
3. Perlu menciptakan suasa interaksi mendidik di Sekolah Terpadu, terutama antara pendidik (yang bukan guru) dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik. Pendidikan Islam merupakan upaya pengembangan pandangan hidup islami yang dikembangkan dalam sikap hidup dan diwujudkan dalam ketrampilan hidup.
4. Sekolah sebagai institusi sosial, jika dilihat dari struktur hubungan antarmanusianya yang dapat diklasifikasikan dalam tiga hubungan, yaitu: (1) Hubungan atasan-bawahan, mengandaikan perlunya kepatuhan dan loyalitas para guru terhadap atasannya. (2) Hubungan professional, mengandaikan perlunya penciptaan hubungan yang rasional, kritis dinamis antar sesama guru dan pimpinannya, atau antara peserta didik dengan guru dan pimpinannya untuk berdiskusi. (3) Hubungan sederajat atau sukarela, merupakan hubungan manusiawi antarteman sejawat, untuk saling membantu, mengingatkan dan melengkapi antara satu dengan lainnya. Ketiga hubungan tersebut didudukan secara proporsional dengan dilandasi kode etik hukum, untuk menghindari adanya tumpang tindih satu sama lainnya.

0 komentar:

Post a Comment

 

Republika Online

gontor.ac.id

myQuran

Arrahmah.Com

Kawulo Alit - Site Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template